BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qowami Syirazi,
yang dikenal dengan nama Shadr Al-Din Syirazi atau Mulla Shadra, dilahirkan di
Syiraz pada 979 H/1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan
terhormat. Ayahnya dikenal sebagai seorang penasehat raja dan bekerja
sebagai ahli hukum islam dipemerintahan Syafawi tepatnya di Provinsi Fars.
Shadr Al-Muta’allihin atau Mulla Shadra
menyebut filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental).
Penamaan itu dipakai sebagai sinonim dari islilah filsafat Tertinggi (Al-Hikmah
Al-Ulya), lawan dari matematika dan fisika, dalam klasifikasi filsafat
tradisional.
Pemikiran yang digeluti
oleh Mulla Shadra adalah persoalan metafisika yang didasari oleh
pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. yakni menggunakan argumen rasional.
Secara ontologis, hikmah didasarkan pada tiga hal:
1.
Ashalah
al-wujud (prinsipianitas eksistensi).Seperti filosof-filosof muslim sebelumnya,
sadra berusaha menjawab masalah mahiyyah (kuiditas/esensi), dan wujud
(eksistensi). Perbandingan antara eksistensi-esensi sadra menyatakan
eksistensi bersifat positif, pasti, tertentu dan nyata.
2.
Tasykik
(gradasi wujud)Jika para filosof peripatetik itu menganggap wujud setiap benda
berbeda dari wujud yang lain, walaupun prinsipial dalam hubungannya dengan
mahiyah, maka bagi Mulla Shadra wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam
gradasi (tahap) yang berbeda.
3.
Gerak Substansial
(al-harokhah al-jauhariyyah)Mulla Shadra berpendapat bahwa gerak tidak hanya
terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas, kualitas, posisi dan tempat.
Akan tetapi gerak juga terjadi pada substansi
B.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan masalah makalah ini
ialah sbb:
1.
Bagaimana
riwayad hidup mulla shadra ?
2.
Bagaimana
pemikiran dari mulla shadra ?
3.
Bagaimana
analisis penulis terhadap pemikiran mulla shadra ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Mulla Shadra
Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qowami Syirazi,
yang dikenal dengan nama Shadr Al-Din Syirazi atau Mulla Shadra, dilahirkan di
Syiraz pada 979 H/1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan
terhormat. Ayahnya dikenal sebagai seorang penasehat raja dan bekerja
sebagai ahli hukum islam dipemerintahan Syafawi
tepatnya di Provinsi Fars.[1]
Seusai menamatkan pendidikan dasarnya
di Syiraz, dia berangkat menuju Isfahan yang pada waktu itu menjadi pusat
pemerintahan dan pusat intelektual Persia. Disana dia bertemu
dengan guru-guru terkenal pada waktu itu. Dia belajar ilmu-ilmu agama (naqli)
pada Syaikh Baha’ Al-Din Al‘Amili dan belajar ilmu-ilmu
rasional (aqli) filsafat dan logika pada Mir Damad. Keduanya
merupakan pelopor utama madzhab Isfahan. Menurut beberapa sumber, dia juga
dikatan pernah belajar pada sufi terkenal Mir Findiriski.
Pembelaan
dan usaha Mulla Shadra untuk menyebarkan ajaran-ajaran gnostik (‘irfan)
akhirnya membawanya kepada konflik dengan para ahli hukum. Kalau bukan
karena pengaruh ayahnya di pengadilan, barangkali ia akan mengalami nasib
yang sama dengan yang menimpaSuhrawardi. Sebagai konsekuensi dari
tekanan-tekanan tersebut, dia mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat dan
berdiam diri disebuah dusun kecil di Kahak, dekat Qum, tempat dia
menghabiskan hari-harinya hingga tujuh atau menurut beberapa sumber
sebelas tahun untuk melakukan amalan-amalan tasawuf dan asketis.
Hingga akhirnya
Allahwardi Khan (Gubernur Fars waktu itu), membangun sebuah sekolah
yang besar di Syiraz dan memanggil mulla sadra untuk dimintai kesediaannya
menjadi guru besar disekolah tersebut. Dia menerima tawaran itu dan
dibawah pimpinannya sekolah tersebut menjadi pusat studi yang berpengaruh
di Persia, hingga mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru datang untuk
belajar disitu. Hal itu kira-kira berjalan hingga tahun 1050 H hingga
akhirnya dia kembali ketempat kelahirannya untuk menghabiskan waktu untuk
menulis. Mulla Sadra meninggal pada usia
79 tahun di Basrah, sepulangnya dari menunaikannya ibadah haji
yang ketujuh.
B.
Pemikiran Mula Shadra
Menurut M.M. Syarif dalam History
of Muslim Philosophy mengemukan bahwa Mulla Shadra
disebut-sebut sebagai pendiri mazhab ketiga yang utama. Mazhab utama
pertama adalah mazhab Peripatetik dengan eksponen terbesarnya
dalam dunia Islam adalah Ibnu Sina, yang lainnya adalah mazhab Illuminatif (al-hikmah
al-isyraqiyah/al-khalidah) yang dibangun oleh Suhrawardi
al-Maqtul. Mulla Shadra juga mengadopsi prinsip-prinsip tertentu dari
masing-masing mazhab, seperti hylomorphism dari Peripatetik, gradasi wujud
dan pola-pola surga (celesticalarchetyupes) dari mazhab illuminasi.
Bahkan ia mengadopsi prinsip-prinsip tertentu dari ajaran-ajaran sufi Ibnu
Sina. Keselarasan dan keteraturan substansi dunia yang sebelumnya tidak
pernah nampak sebagai prinsip beberap mazhab hikmat, dan tidak pernah
dibangun secara sistemik dalam bahasa yang logis oleh hikmawan
sebelum Mulla Shadra. Oleh karenanya, layak disebut sebagai pendiri hikmah yang
orisinil dan relatif baru dalam pergumulan filsafatMuslim dengan al-Hikmah
al-Muta’alliyah-nya yangberbeda dengan al-hikmahal-masya’iyyahperipatetikphilosophy serta alhikmahalisyraqiyyah
illuminasionisttheosophy.
Persoalan pertama yang digeluti
oleh Mulla Shadra adalah persoalan metafisika yang didasari oleh
pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Persoalan esensi dan eksistensi
menjadi tema sentral dalam uraian filsafatnya. Filsafat Mulla Shadra
dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang
sebelum Mulla Shadra. Aliran-aliran itu secara umum dikelompokkan
menjadi: (1) Aliran paripatetik; (2)Filsafat iluminasionis;(3)Irfan (mistisismeislam); dan
(4)kalam (teologi).Pergelutan Mulla Shadra dengan esensi
dan eksistensi Allah melahirkan sebuah system filsafat yang tertata.Shadra
menggunakan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyyah (filsafat transendental) yang
merupakan sinonim dari istilah filsafat tertinggi atau lebuh dikenal dengan
filsafat hikmah.[2]
Filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang
diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan
disajikan dalam bentuk yang rasional, yakni menggunakan argumen rasional.
Secara ontologis, hikmah didasarkan pada tiga hal:
1. Ashalah
al-wujud (prinsipianitas eksistensi).
Seperti filosof-filosof muslim sebelumnya,
sadra berusaha menjawab masalah mahiyyah (kuiditas/esensi), dan wujud
(eksistensi). Perbandingan antara eksistensi-esensi sadra menyatakan
eksistensi bersifat positif, pasti, tertentu dan nyata. Sedangkan esensi
bersifat samar, gelap, tidak tertentu,negative, dan tidak nyata. Esensi tidak
memiliki dirinya sendiri dan apapun yang ada pada-Nya adalah karena hubungan
dengan eksistensi, sedang eksistensi bersifat nyata berkat manivestasi dan
hubungannya dengan eksistensi mutlak, yakni Tuhan. Bagi shadra, Tuhan adalah
wujud mutlak dan apa yang disebut sebagai akal terpisah oleh para filosof atau
ide-ide tetap (a’yan al-tsabithah oleh ibnu arabi, tidak mempunyai wujud
eksternal tetapi hanya merupakan kandungan dalam fikiran Tuhan, yakni ide-idenya.
Selanjutnya jenis-jenis wujud atau eksistensi ini memperlihatkan karakteristik
esensial tertentu dalam fikiran. Ini persis dengan matahari yang sebagai sumber
cahaya, identik dengan cahaya yang dipancarkan, tetapi cahaya tersebut bisa
memunculkan karakteristik yang berbeda seperti yang tampak dalam prisma.
2. Tasykik
(gradasi wujud)
Jika para filosof peripatetik itu menganggap
wujud setiap benda berbeda dari wujud yang lain, walaupun prinsipial dalam
hubungannya dengan mahiyah, maka bagi Mulla Shadra wujud adalah realitas
tunggal yang muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda. Meminjam dari
Suhrawardi, kita dapat membandingkan berbagai wujud cahaya. Ada cahaya
matahari, ada cahaya lampu, ada cahaya lain. Semuanya cahaya, tetapi dengan
predikat yang berbeda artinya. Begitu pula, ada Tuhan, ada manusia, ada
binatang, ada batu. Semuanya satu wujud, satu realitas, tetapi dengan berbagai
tingkat intensitas dan manifestasi. Gradasi ini bekan pada mahiyah, tetapi pada
wujud, bukan pada kuiditas, tetapi pada eksistensi. Tahap paling tinggi dalam
hierarki wujud ini adalah Tuhan yang Mahatinggi dan tahap yang paling rendah
adalah Materi Awal, yang menjadi bahan segala bahan (maddah al mawadd atauhayula atau hyle).
3. Gerak Substansial
(al-harokhah al-jauhariyyah)
Mulla Shadra berpendapat bahwa gerak tidak
hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas, kualitas, posisi dan
tempat. Akan tetapi gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat dalam dunia
eksternal perubahan benda material dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain.
Buah apel berubah dari hijau, kemudian kuning, kemudian merah. Ukuran, rasa,
berat juga selalu mengalami perubahan. Karena keberadaan aksiden bergantung
pada keberadaan substansi, maka perubahan aksiden terkait dengan perubahan
substansi juga. Semua benda material berubah. Dalam hubungan ini Shadra
mempertahankan sifat huduts(kebaharuan) dunia fisik, sifat tidak
permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat (yakni,
sebagai satuan ukuran kuantitas gerak).
Shadr Al-Muta’allihin atau Mulla Shadra
menyebut filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental).
Penamaan itu dipakai sebagai sinonim dari islilah filsafat Tertinggi (Al-Hikmah
Al-Ulya), lawan dari matematika dan fisika, dalam klasifikasi filsafat
tradisional. Dengan begitu, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah sama persis dengan
filsafat pertama yang tak lain adalah filsafat umum. Selain
itu Al-Hikmah Muta’aliyah adalah mazhab pemikirannya dalam
metafisika. Urutan dalam hal pembahasan yang mendasari Al-Hikmah Al
Muta’aliyah meliputi::
·
Hakikat
kemendasaran eksistensi (ashalah al-wujud).dan Kemanunggalan wujud
(wahdad al-wujud). Membahas prinsip mengenai eksistensi dan esensi
·
Penuntasan
masalah-masalah menyangkaut eksistensi mental (al-wujud al-dzihni).Arti
penting pembahasan eksistensi mental adalah yang berkaitan dengan hubungan
antara subjek pengetahuan dan objek pengetahuan. Masalah ini terkait dengan
pengetahuan kesadaran manusia dalam menyingkap realitas. Menurut perspektif para
filosof Islam, nilai pengetahuan sepenuhnya bergantung pada pengertian gagasan
dan eksistensi mental. Menolak eksistensi mental sama dengan menolak nilai
pengetahuan dan kesadaran manusia secara mutlak.
·
“keserbamungkinan
yang membutuhkan” (al-imkan al-faqri).Para logikawan telah
memaparkan dua jenis keniscayaan esensial. Yang pertama keniscayaan esensial
sementara. Sebagai contoh, apabila kita katakan bahwa esensi manusia adalah
“hewan rasional” (atau esensi “empat” adalah “bilangan genap”), maknanya adalah
bahwa eksistensi manusia terkait langsung dengan esensi kehewanan dan
rasionalitasnya. Oleh karena itu, tanpa rasionalitas pasti tidak ada manusia.
Sedangkan dalam keniscayaan abadi, hanya milik Allah.
·
Telaah
tentang hakikat kausalitas dan watak hubungan sebab-akibat, peneguhan hubungan
akibat pada sebab sebagai hubungan iluminatif; dan pengakuan adanya efek
kemaujudan (ontic/ watak) sebagai “manifestasi” (tajali
wa tasya’un).contoh: seorang ayah dan anak adalah dua maujud. Yang pertama
merupakan sumber bagi yang kedua, dalam arti bahwa anak berasal dari ayah. Lalu
terjadilah suatu hubungan diantara keduanya sebagai hakikat ayah atau anak.
·
Pengukuhan
gerakan subtansial (al-harakah al-jauhariyyah);Semua maujud alami
dapat berubah karena kodrat alam itu sendiri adalah potensi dan kesiapan.
Perubahan bersifat seketika dan bertahap seiring dengan perputaran waktu disebut
dengan “gerak” (harakah).[3]
C.
ANALISIS
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu
mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra.
Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan
kalam (teologi). filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah
(Filsafat Transendental) merupakan suatu sistem filsafat yang koheren
meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Karena filsafat
hikmah diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan
disajikan daslam bentuk yang rasional. Dengan berlandaskan pada pokok utama
kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika. Dengan demikian sifat-sifat
sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang
dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya layak disebut filsafat Islam yang
sesungguhnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Muhammad ibn Ibrahim
Yahya Qowami Syirazi, yang dikenal dengan nama Shadr Al-Din Syirazi atau Mulla
Shadra, dilahirkan di Syiraz pada 979 H/1571 M dari keluarga Qawam yang
terkenal dan terhormat. Ayahnya dikenal sebagai seorang penasehat raja dan
bekerja sebagai ahli hukum islam dipemerintahan Syafawi
tepatnya di Provinsi Fars.
·
Hakikat
kemendasaran eksistensi (ashalah al-wujud).dan Kemanunggalan wujud
(wahdad al-wujud). Membahas prinsip mengenai eksistensi dan esensi
·
Penuntasan
masalah-masalah menyangkaut eksistensi mental (al-wujud al-dzihni).Arti
penting pembahasan eksistensi mental adalah yang berkaitan dengan hubungan
antara subjek pengetahuan dan objek pengetahuan. Masalah ini terkait dengan
pengetahuan kesadaran manusia dalam menyingkap realitas. Menurut perspektif
para filosof Islam, nilai pengetahuan sepenuhnya bergantung pada pengertian
gagasan dan eksistensi mental.
·
“keserbamungkinan
yang membutuhkan” (al-imkan al-faqri).Para logikawan telah
memaparkan dua jenis keniscayaan esensial. Yang pertama keniscayaan esensial
sementara. Sebagai contoh, apabila kita katakan bahwa esensi manusia adalah
“hewan rasional” (atau esensi “empat” adalah “bilangan genap”), maknanya adalah
bahwa eksistensi manusia terkait langsung dengan esensi kehewanan dan
rasionalitasnya.
·
Telaah
tentang hakikat kausalitas dan watak hubungan sebab-akibat, peneguhan hubungan
akibat pada sebab sebagai hubungan iluminatif; dan pengakuan adanya efek
kemaujudan (ontic/ watak) sebagai “manifestasi” (tajali
wa tasya’un). Pengukuhan gerakan subtansial (al-harakah
al-jauhariyyah);Semua maujud alami dapat berubah karena kodrat alam itu
sendiri adalah potensi dan kesiapan. Perubahan bersifat seketika dan bertahap
seiring dengan perputaran waktu disebut dengan “gerak” (harakah).
Filsafat Mulla Sadra
dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang
sebelum Mulla Sadra.Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme
islam); dan kalam (teologi). filsafatnya sebagai
Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental) merupakan suatu sistem
filsafat yang koheren MeskipunMenggabungkan berbagai mazhab filosofis
sebelumnya.Dengan berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Shadra
yakni metafisika
DAFTAR PUSTAKA
· Bagir, Haidar. 2005.Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan
· Fakhry,
Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung:
Mizan
· Muthahhari,
Murtadha. 2002. Filsafat Hikmah:Pengantar Pemikiran Sadra. Bandung;
Mizan.
· Shadra,
Mulla. 2001. Kearifan Puncak (Hikmah al-Arsyiah).Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Assalamualaikum,
BalasHapusOm, bisa share kah, kitab aslinya jika ada dalam soft copy / link nya, saya sangat tertarik untuk memahami secara genuine. Terima kasih atas sharing ilmunya
Salam,
Budi S
(santos18@plasa.com)