Selasa, 02 Juli 2013

MULLA SADRA,SEJARAH PEMIKIRAN SERTA ANALISIS


BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qowami Syirazi, yang dikenal dengan nama Shadr Al-Din Syirazi atau Mulla Shadra, dilahirkan di Syiraz pada 979 H/1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan terhormat. Ayahnya dikenal sebagai seorang penasehat raja dan bekerja sebagai ahli hukum islam dipemerintahan Syafawi tepatnya di Provinsi Fars.
Shadr Al-Muta’allihin atau Mulla Shadra menyebut filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental). Penamaan itu dipakai sebagai sinonim dari islilah filsafat Tertinggi (Al-Hikmah Al-Ulya), lawan dari matematika dan fisika, dalam klasifikasi filsafat tradisional.
Pemikiran yang digeluti oleh Mulla Shadra adalah persoalan metafisika yang didasari oleh pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. yakni menggunakan argumen rasional. Secara ontologis, hikmah didasarkan pada tiga hal:
1.       Ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi).Seperti filosof-filosof muslim sebelumnya, sadra berusaha menjawab masalah mahiyyah (kuiditas/esensi), dan wujud (eksistensi). Perbandingan antara eksistensi-esensi sadra menyatakan eksistensi bersifat positif, pasti, tertentu dan nyata.
2.      Tasykik (gradasi wujud)Jika para filosof peripatetik itu menganggap wujud setiap benda berbeda dari wujud yang lain, walaupun prinsipial dalam hubungannya dengan mahiyah, maka bagi Mulla Shadra wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda.
3.      Gerak Substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)Mulla Shadra berpendapat bahwa gerak tidak hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas, kualitas, posisi dan tempat. Akan tetapi gerak juga terjadi pada substansi
B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah makalah ini ialah sbb:
1.      Bagaimana riwayad hidup mulla shadra ?
2.      Bagaimana pemikiran dari mulla shadra ?
3.      Bagaimana analisis penulis terhadap pemikiran mulla shadra ?



BAB  II
PEMBAHASAN

A.   Riwayat Hidup Mulla Shadra
Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qowami Syirazi, yang dikenal dengan nama Shadr Al-Din Syirazi atau Mulla Shadra, dilahirkan di Syiraz pada 979 H/1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan terhormat. Ayahnya dikenal sebagai seorang penasehat raja dan bekerja sebagai ahli hukum islam dipemerintahan Syafawi tepatnya di Provinsi Fars.[1]
Seusai menamatkan pendidikan dasarnya di Syiraz, dia berangkat menuju Isfahan yang pada waktu itu menjadi pusat pemerintahan dan pusat intelektual  Persia. Disana dia bertemu dengan guru-guru terkenal pada waktu itu. Dia belajar ilmu-ilmu agama (naqli) pada Syaikh Baha’ Al-Din Al‘Amili dan belajar ilmu-ilmu rasional (aqli) filsafat dan logika pada Mir Damad. Keduanya merupakan pelopor utama madzhab Isfahan. Menurut beberapa sumber, dia juga dikatan pernah belajar pada sufi terkenal Mir Findiriski.
      Pembelaan dan usaha Mulla Shadra untuk menyebarkan ajaran-ajaran gnostik (‘irfan) akhirnya membawanya kepada konflik dengan para ahli hukum. Kalau bukan karena pengaruh ayahnya di pengadilan, barangkali ia akan mengalami nasib yang sama dengan yang menimpaSuhrawardi. Sebagai konsekuensi dari tekanan-tekanan tersebut, dia mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat dan berdiam diri disebuah dusun kecil di Kahak, dekat Qum, tempat dia menghabiskan hari-harinya hingga tujuh atau menurut  beberapa sumber sebelas tahun untuk melakukan amalan-amalan tasawuf dan asketis.
     Hingga akhirnya Allahwardi Khan (Gubernur Fars waktu itu), membangun  sebuah sekolah yang besar di Syiraz dan memanggil mulla sadra untuk dimintai kesediaannya menjadi guru besar disekolah tersebut. Dia menerima tawaran itu dan dibawah pimpinannya sekolah tersebut menjadi pusat studi yang berpengaruh di Persia, hingga mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru datang untuk belajar disitu. Hal itu kira-kira berjalan hingga tahun 1050 H hingga akhirnya dia kembali ketempat kelahirannya untuk menghabiskan waktu untuk menulis. Mulla Sadra meninggal pada usia 79 tahun di Basrah, sepulangnya dari menunaikannya ibadah haji yang ketujuh. 
B.   Pemikiran Mula Shadra  
Menurut M.M. Syarif dalam History of Muslim Philosophy  mengemukan bahwa Mulla Shadra disebut-sebut sebagai pendiri mazhab ketiga yang utama. Mazhab utama pertama adalah mazhab Peripatetik dengan eksponen terbesarnya dalam dunia Islam adalah Ibnu Sina, yang lainnya adalah mazhab Illuminatif (al-hikmah al-isyraqiyah/al-khalidah) yang dibangun oleh Suhrawardi al-Maqtul. Mulla Shadra juga mengadopsi prinsip-prinsip tertentu dari masing-masing mazhab, seperti hylomorphism dari Peripatetik, gradasi wujud dan pola-pola surga (celesticalarchetyupes) dari mazhab illuminasi. Bahkan ia mengadopsi prinsip-prinsip tertentu dari ajaran-ajaran sufi Ibnu Sina. Keselarasan dan keteraturan substansi dunia yang sebelumnya tidak pernah nampak sebagai prinsip beberap mazhab hikmat, dan tidak pernah dibangun secara sistemik dalam bahasa yang logis oleh hikmawan sebelum Mulla Shadra. Oleh karenanya, layak disebut sebagai pendiri hikmah yang orisinil dan relatif baru dalam pergumulan filsafatMuslim dengan al-Hikmah al-Muta’alliyah-nya yangberbeda dengan al-hikmahal-masya’iyyahperipatetikphilosophy serta alhikmahalisyraqiyyah  illuminasionisttheosophy.
Persoalan pertama yang digeluti oleh Mulla Shadra adalah persoalan metafisika yang didasari oleh pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Persoalan esensi dan eksistensi menjadi tema sentral dalam uraian filsafatnya. Filsafat Mulla Shadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Shadra. Aliran-aliran itu secara umum dikelompokkan menjadi: (1) Aliran paripatetik; (2)Filsafat iluminasionis;(3)Irfan (mistisismeislam); dan (4)kalam (teologi).Pergelutan Mulla Shadra dengan esensi dan eksistensi Allah melahirkan sebuah system filsafat yang tertata.Shadra menggunakan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyyah (filsafat transendental) yang merupakan sinonim dari istilah filsafat tertinggi atau lebuh dikenal dengan filsafat hikmah.[2]
Filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional, yakni menggunakan argumen rasional. Secara ontologis, hikmah didasarkan pada tiga hal:
1.         Ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi).
Seperti filosof-filosof muslim sebelumnya, sadra berusaha menjawab masalah mahiyyah (kuiditas/esensi), dan wujud (eksistensi). Perbandingan antara eksistensi-esensi sadra menyatakan eksistensi bersifat positif, pasti, tertentu dan nyata. Sedangkan esensi bersifat samar, gelap, tidak tertentu,negative, dan tidak nyata. Esensi tidak memiliki dirinya sendiri dan apapun yang ada pada-Nya adalah karena hubungan dengan eksistensi, sedang eksistensi bersifat nyata berkat manivestasi dan hubungannya dengan eksistensi mutlak, yakni Tuhan. Bagi shadra, Tuhan adalah wujud mutlak dan apa yang disebut sebagai akal terpisah oleh para filosof atau ide-ide tetap (a’yan al-tsabithah oleh ibnu arabi, tidak mempunyai wujud eksternal tetapi hanya merupakan kandungan dalam fikiran Tuhan, yakni ide-idenya. Selanjutnya jenis-jenis wujud atau eksistensi ini memperlihatkan karakteristik esensial tertentu dalam fikiran. Ini persis dengan matahari yang sebagai sumber cahaya, identik dengan cahaya yang dipancarkan, tetapi cahaya tersebut bisa memunculkan karakteristik yang berbeda seperti yang tampak dalam prisma.
2.         Tasykik (gradasi wujud)
Jika para filosof peripatetik itu menganggap wujud setiap benda berbeda dari wujud yang lain, walaupun prinsipial dalam hubungannya dengan mahiyah, maka bagi Mulla Shadra wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda. Meminjam dari Suhrawardi, kita dapat membandingkan berbagai wujud cahaya. Ada cahaya matahari, ada cahaya lampu, ada cahaya lain. Semuanya cahaya, tetapi dengan predikat yang berbeda artinya. Begitu pula, ada Tuhan, ada manusia, ada binatang, ada batu. Semuanya satu wujud, satu realitas, tetapi dengan berbagai tingkat intensitas dan manifestasi. Gradasi ini bekan pada mahiyah, tetapi pada wujud, bukan pada kuiditas, tetapi pada eksistensi. Tahap paling tinggi dalam hierarki wujud ini adalah Tuhan yang Mahatinggi dan tahap yang paling rendah adalah Materi Awal, yang menjadi bahan segala bahan (maddah al mawadd atauhayula atau hyle).
3.         Gerak Substansial (al-harokhah al-jauhariyyah)
Mulla Shadra berpendapat bahwa gerak tidak hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas, kualitas, posisi dan tempat. Akan tetapi gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat dalam dunia eksternal perubahan benda material dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Buah apel berubah dari hijau, kemudian kuning, kemudian merah. Ukuran, rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena keberadaan aksiden bergantung pada keberadaan substansi, maka perubahan aksiden terkait dengan perubahan substansi juga. Semua benda material berubah. Dalam hubungan ini Shadra mempertahankan sifat huduts(kebaharuan) dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat (yakni, sebagai satuan ukuran kuantitas gerak).
Shadr Al-Muta’allihin atau Mulla Shadra menyebut filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental). Penamaan itu dipakai sebagai sinonim dari islilah filsafat Tertinggi (Al-Hikmah Al-Ulya), lawan dari matematika dan fisika, dalam klasifikasi filsafat tradisional. Dengan begitu, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah sama persis dengan filsafat pertama yang tak lain adalah filsafat umum. Selain itu  Al-Hikmah Muta’aliyah adalah mazhab pemikirannya dalam metafisika. Urutan dalam hal pembahasan  yang mendasari Al-Hikmah Al Muta’aliyah meliputi::
·         Hakikat kemendasaran eksistensi (ashalah al-wujud).dan Kemanunggalan wujud (wahdad al-wujud). Membahas prinsip mengenai eksistensi dan esensi
·         Penuntasan masalah-masalah menyangkaut eksistensi mental (al-wujud al-dzihni).Arti penting pembahasan eksistensi mental adalah yang berkaitan dengan hubungan antara subjek pengetahuan dan objek pengetahuan. Masalah ini terkait dengan pengetahuan kesadaran manusia dalam menyingkap realitas. Menurut perspektif para filosof Islam, nilai pengetahuan sepenuhnya bergantung pada pengertian gagasan dan eksistensi mental. Menolak eksistensi mental sama dengan menolak nilai pengetahuan dan kesadaran manusia secara mutlak.
·         “keserbamungkinan yang membutuhkan” (al-imkan al-faqri).Para logikawan telah memaparkan dua jenis keniscayaan esensial. Yang pertama keniscayaan esensial sementara. Sebagai contoh, apabila kita katakan bahwa esensi manusia adalah “hewan rasional” (atau esensi “empat” adalah “bilangan genap”), maknanya adalah bahwa eksistensi manusia terkait langsung dengan esensi kehewanan dan rasionalitasnya. Oleh karena itu, tanpa rasionalitas pasti tidak ada manusia. Sedangkan dalam keniscayaan abadi, hanya milik Allah.
·         Telaah tentang hakikat kausalitas dan watak hubungan sebab-akibat, peneguhan hubungan akibat pada sebab sebagai hubungan iluminatif; dan pengakuan adanya efek kemaujudan (ontic/ watak) sebagai “manifestasi” (tajali wa tasya’un).contoh: seorang ayah dan anak adalah dua maujud. Yang pertama merupakan sumber bagi yang kedua, dalam arti bahwa anak berasal dari ayah. Lalu terjadilah suatu hubungan diantara keduanya sebagai hakikat ayah atau anak.
·         Pengukuhan gerakan subtansial (al-harakah al-jauhariyyah);Semua maujud alami dapat berubah karena kodrat alam itu sendiri adalah potensi dan kesiapan. Perubahan bersifat seketika dan bertahap seiring dengan perputaran waktu disebut dengan “gerak” (harakah).[3]
C. ANALISIS
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi). filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental) merupakan suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Karena filsafat hikmah diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan daslam bentuk yang rasional. Dengan berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika. Dengan demikian sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya layak disebut filsafat Islam yang sesungguhnya.











BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qowami Syirazi, yang dikenal dengan nama Shadr Al-Din Syirazi atau Mulla Shadra, dilahirkan di Syiraz pada 979 H/1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan terhormat. Ayahnya dikenal sebagai seorang penasehat raja dan bekerja sebagai ahli hukum islam dipemerintahan Syafawi tepatnya di Provinsi Fars.
·         Hakikat kemendasaran eksistensi (ashalah al-wujud).dan Kemanunggalan wujud (wahdad al-wujud). Membahas prinsip mengenai eksistensi dan esensi
·         Penuntasan masalah-masalah menyangkaut eksistensi mental (al-wujud al-dzihni).Arti penting pembahasan eksistensi mental adalah yang berkaitan dengan hubungan antara subjek pengetahuan dan objek pengetahuan. Masalah ini terkait dengan pengetahuan kesadaran manusia dalam menyingkap realitas. Menurut perspektif para filosof Islam, nilai pengetahuan sepenuhnya bergantung pada pengertian gagasan dan eksistensi mental.
·         “keserbamungkinan yang membutuhkan” (al-imkan al-faqri).Para logikawan telah memaparkan dua jenis keniscayaan esensial. Yang pertama keniscayaan esensial sementara. Sebagai contoh, apabila kita katakan bahwa esensi manusia adalah “hewan rasional” (atau esensi “empat” adalah “bilangan genap”), maknanya adalah bahwa eksistensi manusia terkait langsung dengan esensi kehewanan dan rasionalitasnya.
·         Telaah tentang hakikat kausalitas dan watak hubungan sebab-akibat, peneguhan hubungan akibat pada sebab sebagai hubungan iluminatif; dan pengakuan adanya efek kemaujudan (ontic/ watak) sebagai “manifestasi” (tajali wa tasya’un). Pengukuhan gerakan subtansial (al-harakah al-jauhariyyah);Semua maujud alami dapat berubah karena kodrat alam itu sendiri adalah potensi dan kesiapan. Perubahan bersifat seketika dan bertahap seiring dengan perputaran waktu disebut dengan “gerak” (harakah). 
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra.Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi). filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental) merupakan suatu sistem filsafat yang koheren MeskipunMenggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya.Dengan berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Shadra yakni metafisika



DAFTAR PUSTAKA

·      Bagir, Haidar. 2005.Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan
·      Fakhry, Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan
·      Muthahhari, Murtadha. 2002. Filsafat Hikmah:Pengantar Pemikiran Sadra. Bandung; Mizan. 
·      Shadra, Mulla.  2001. Kearifan Puncak (Hikmah al-Arsyiah).Yogyakarta: Pustaka Pelajar





1 komentar:

  1. Assalamualaikum,
    Om, bisa share kah, kitab aslinya jika ada dalam soft copy / link nya, saya sangat tertarik untuk memahami secara genuine. Terima kasih atas sharing ilmunya
    Salam,
    Budi S
    (santos18@plasa.com)

    BalasHapus